Breaking

Sabtu, 13 Mei 2017

Tradisi Menjual Istri di Eropa

Mengangkat derajat wanita dan menempatkannya pada tempat yang semestinya adalah ciri ajaran Islam sejak mula. Di era modern, mungkin sebagian orang sulit menolak klaim ini. Karena banyaknya kebohongan dan pengkaburan ajaran Islam. Islam dicitrakan sebagai agama yang memperbudak wanita. Islam dikesankan menjadikan wanita sebagai pemuas nafsu. Dll. Bagi orang-orang yang terpengaruh isu ini, perlu diberikan pemahaman dari sisi historis. Bagaimana kondisi wanita sebelum Islam diturunkan. Atau pada masyarakat yang tidak mengenal Islam. Sehingga mereka memiliki komparasi untuk menilai benar tidaknya klaim bahwa Islam memuliakan wanita.


Samuel Pyeatt Menefee dalam karyanya Wives for Sale: Ethnographic Study of British Popular Divorce, mengungkap sebuah realita yang mengejutkan. Ia menyatakan tradisi menjual istri berlangsung selama 500 tahun di Inggris. Perbuatan keji ini dilakukan sebagai alternative dari perceraian.

Di Eropa, pada abad pertengahan (sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan Kekaisaran Romawi Barat di bawah prakarsa raja Charlemagne pada abad 5 hingga Renaisans pada tahun 1517), wanita memiliki kedudukan yang sangat rendah di sisi suami-suami mereka setelah menikah. Wanita-wanita yang telah bersuami tak lagi memiliki hak atas dirinya. Tradisi ini dikenal dengan coverture.

Pada masa itu, seorang perempuan bersuami tidak mungkin memiliki hak, walaupun atas dirinya sendiri. Mereka adalah ‘barang’ miliki suami mereka. Sehingga para suami merasa punya hak menjual ‘barang-barang’ milik mereka. Sejarah ini juga dicatat dalam buku Uncle John’s Bathroom Reader Plunges Into History Again.

Tidak diketahui persis kapan tradisi keji ini dimulai. Siapa orang pertama yang memulai melelang istri di Eropa. Namun, tradisi ini marak dilakukan pada akhir abad ke-17. Teknis penjualan istri ini pertama-tama diiklankan dulu di media informasi yang berlaku di masa itu. Sehingga orang-orang mengetahui bahwa istri si Fulan dijual. Setelah orang-orang tahu, barulah dijual di tempat-tempat pelelangan.

Yang menyedihkan dan terasa begitu hina, wanita-wanita malang itu dijajarkan di tempat yang tinggi semacam panggung. Sementara leher-leher mereka diikat. Para suami merekalah yang memegang ikatannya. Kadang tali-tali itu diikatkan di pergelangan tangan atau pinggang. Lelang terus berlangsung hingga ada suami baru yang membelinya dengan harga yan disepakati. Berpindahlah kepemilikan.

Tradisi ini terus berlangsung hingga abad ke-18 dan 19. Para suami menganggap hal ini sebagai solusi dari rumah tangga yang mengecewakan. Sebenarnya, pada tahun 1690 sudah ditetapkan aturan perceraian oleh parlemen. Namun cara ini dianggap memakan waktu yang lama dan menghabiskan banyak dana.

Puncak tradisi ini terjadi pada tahun 1780 dan 1850. Saat itu, di Brimingham, Inggris, sekitar 300 orang istri dijual. Sebenarnya wanita-wanita ini menolak diperlakukan demikian, namun tidak ada undang-undang yang melindungi mereka. Yang membela hak-hak asasi wanita.

Pada awal abad ke-20 perdagangan wanita seperti ini masih terjadi di Eropa, khususnya Inggris. Akhirnya, pada 1913, para wanita menuntut ditetapkannya undang-undang yang melarang perdagangan perempuan. Dan para wanita pun memiliki perlindungan hak secara hukum.

Karena itu, tidak heran jika orang-orang Eropa sangat anti dengan hukum-hukum agama yang terkesan mengekang wanita. Mereka memiliki trauma sejarah dengan gereja, negara, dan kaum laki-laki. Kemudian apa yang mereka rasakan ini hendak mereka transfer ke negeri-negeri Islam. Padahal Islam telah mendudukkan wanita di tempat yang mulia. Dengan Islam, wanita muslimah tidak memiliki trauma seperti yang mereka alami. Segala puji bagi Allah ï·» atas nikmat Islam.


Sumber : http://kisahmuslim.com/5726-tradisi-menjual-istri-di-eropa.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar