"Winda yang mana? Winda yang gendut itu ya?"
Bukan cuma sekali atau dua kali telinga saya digelitik dengan kata-kata 'Winda yang gendut' saat mendengar orang lain menceritakan tentang saya. Memang, sejak kecil sejarahnya saya tidak pernah punya body yang 'tipis' dan tinggi badan saya rata-rata saja. Jadi memang kalau dibilang 'gendut', yah, sedih tapi memang benar adanya.
Menyebut "gendut" saja ternyata nggak bikin orang-orang puas. Beberapa kali saya dipermalukan karena bentuk tubuh dan wajah yang menurut mereka tidak secantik gadis-gadis lainnya. Di usia remaja, tentunya hal itu sangat merisaukan saya. Hingga pada akhirnya semua yang saya anggap awalnya hanya guyonan, mulai mendobrak batasan kesabaran dan kewajaran saat saya pernah, entah sengaja atau tidak, dipermalukan melalui foto yang disebar oleh seseorang di dunia maya.
Tak ada yang salah dengan foto itu. Foto itu bukanlah foto vulgar. Foto itu adalah foto saat saya lulus kuliah, dengan memakai kebaya. Saya sangat jarang memakai kebaya, sehingga punya foto berkebaya merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Apalagi momennya ketika saya lulus kuliah. Bangga dong, saya pajang fotonya menjadi display picture di BBM waktu itu.
Ternyata, kebanggaan saya justru jadi 'mangsa' empuk untuk bahan dipermalukan orang-orang yang tidak menyadari sikapnya menyebarkan foto tersebut dengan captionpendek-tapi-meremehkan. It turned to disaster, saat paginya di social media sudah banyak komentar-komentar yang ikut menertawakan foto yang menurut saya gak ada 'dosa'nya sama sekali itu.
Tiga hari saya merasa enggan keluar rumah, enggan ke kampus untuk mengurus administrasi wisuda, enggan main ke mana-mana. Hati saya rasanya remuk. Apa yang sudah saya bangun selama ini, menjadi seorang penulis, membuat puisi, membuat lagu ... seolah tetap tak bisa 'menolong' anggapan bagaimana orang-orang mengukur sosok saya dari bentuk tubuh dan kecantikan paras.
Saya sempat benci melihat tubuh saya, 'belut-belut' di perut saya. Saya kesal lihat paha dan betis saya yang besar. Saya pernah benci sama diri saya dan semua karya yang saya buat karena, "Bodoh kamu, Wind, ngapain usaha keras bikin karya. Orang gak ngeliat karyamu, orang lihat badanmu dan wajahmu. Mendingan sana ngegym, daripada duduk ngeblog terus. Gak ada gunanya. Kamu gendut dan jelek, gak pantas sukses."
Saya pernah ada di fase itu. Fase dimana saya dikendalikan emosi, gagal menerima diri saya sendiri dan berhasil terprovokasi oleh dorongan orang-orang yang tak menyadari mereka telah mendorong membenci diri saya sendiri.
Perlu waktu hampir dua tahun untuk bisa berdamai dan membuka semua fitur 'block' dari orang yang telah mendorong saya membenci diri saya sendiri itu. Perlu kelapangan hati dan affirmasi positif setiap hari bahwa ini semua bukan salah lemak-lemak saya sehingga saya dikesampingkan. Perlu ruang maaf yang besar untuk mau kembali bertemu dengan orang-orang itu, supaya bisa ngopi dengan enak dan tertawa-tawa lagi seperti dulu.
Gendut!
Tapi ...
Apakah cuma itu identitas yang melekat dalam diri saya dan jutaan orang di seluruh dunia dengan karakter tubuh tak jauh berbeda dengan saya? Apakah 'gendut' hanya satu-satunya label yang pantas dilekatkan? Apakah karena saya 'gendut', saya dianggap layak jadi korban bullyingseumur hidup?
Padahal, saya punya rambut panjang kecoklatan alami, no need to dye on :D
Padahal, saya punya alis yang tebal, alami juga kok.
Padahal saya punya karya-karya yang bisa dibaca dan didengarkan, yang saya yakin punya karakter cukup kuat untuk dikenal sebagai persona saya di dunia nyata maupun maya.
But, why?
Pelabelan yang buruk bahkan body shaming, menurut saya adalah sebuah cacatnya empati manusia terhadap manusia lainnya dalam menghargai tubuh ciptaan Tuhan. Sayangnya di masyarakat body shaming masih dianggap wajar dan 'sekedar guyonan, jangan gampang sakit hati ah!'. Tapi apakah kita tetap berpikiran sama, saat mengetahui mereka yang menjadi korban body shamingmenangis berjam-jam merutuki dan mengutuk Tuhan yang tak memberinya tubuh sesempurna yang diinginkan masyarakat? Apakah kita masih bisa tertawa-tawa di atas siksaan mereka yang kelaparan hampir mau mati supaya bisa langsing dan diterima pergaulan?
Membiarkan tubuh dan wajahmu dipermalukan dengan guyonan yang menjurus ke arah fisik artinya sama dengan memperbolehkan orang untuk mempermalukanmu lebih jauh lagi, soal pencapaian-pencapaianmu dan perjuanganmu yang gak mereka mengerti. Percayalah, saat seseorang merasa diperbolehkan melanggar nilai-nilai dirimu yang terkecil, mereka akan terus melakukannya dan pisaunya akan semakin tajam mendalam menorehkan luka menganga di batinmu.
Foto: copyright vemale.com/wndFoto: copyright vemale.com/wnd
Apa yang saya alami membuat saya tertampar. Gak ada satupun yang berhak melontarkan kritik terhadap wajah dan tubuhmu dengan cara yang gak sopan, apalagi untuk tujuan candaan yang tak bermartabat. Gak ada satu orang pun yang boleh mendorongmu membenci tubuhmu, terlebih membenci dirimu sendiri. Because this is my body, my pride.
Sekarang saya sudah lepas dari belenggu itu, dan gak lagi merasa minder dengan lemak-lemak di tubuh saya. Saya merasa seksi, sehingga ketika saya ditanya, "Bagian tubuh mana sih yang paling seksi menurutmu?", saya bisa menjawab dengan lantang, "OTAK!" ;)
Sumber : https://www.vemale.com/inspiring/lentera/98809-saya-pernah-menjadi-korban-body-shaming-dan-membenci-tubuh-saya.html
Jumat, 12 Mei 2017
Home
/
Inspirasi
/
motivasi dan inspirasi
/
Saya Pernah Menjadi Korban Body Shaming dan Membenci Tubuh Saya
Saya Pernah Menjadi Korban Body Shaming dan Membenci Tubuh Saya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar